INILAHCOM, Gaza -- "Martabat adalah segala-galanya," demikian bunyi tulisan yang dibawa oleh ribuan pekerja badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, saat melakukan aksi di Gaza City.
Mereka khawatir keputusan Pemerintah Amerika Serikat yang membekukan bantuan ke UNRWA senilai US$65 juta (sekitar Rp874,5 miliar), yang mungkin bertambah menjadi US$290 juta (Rp3,9 triliun), akan mengancam masa depan mereka.
Selain mengancam masa depan, pembekuan itu dikhawatirkan melumpuhkan berbagai layanan dasar bagi para pengungsi Palestina.
"UNRWA hadir di semua tahapan penting kehidupan saya," ungkap Najwa Sheikh Ahmed, staf bagian informasi UNRWA.
"Organisasi ini tak hanya menyediakan makanan, pakaian, pendidikan, dan layanan kesehatan tapi juga lapangan pekerjaan," tambahnya.
Najwa lahir di kamp pengungsi Khan Younis dan dibesarkan dalam kondisi yang sangat sulit.
Ia kemudian pindah ke kamp pengungsi Nuseirat ketika menikah dengan sang suami, yang juga staf UNRWA. Pasangan ini sekarang memiliki lima anak.
Wartawan BBC di Gaza, Yolanda Knell melaporkan,"Ketika saya berkunjung, kami melewati jalan-jalan sempit. Ada klinik bercat putih dan biru muda, yang merupakan warna PBB. Di klinik inilah Najwa biasanya mendapatkan layanan kesehatan. Saya bertemu dengan Salma, anak perempuan tertua Najwa, yang pandai berbahasa Inggris. Salma adalah satu dari 270.000 murid sekolah di Gaza."
"Sebagai ibu, saya sungguh khawatir ... jika pembekuan bantuan (dana dari Amerika untuk UNRWA) tidak dicarikan penggantinya, UNRWA akan berada dalam posisi sulit. UNRWA mungkin harus menghentikan layanan kesehatan dan pendidikan. Masa depan anak-anak kami terancam," kata Najwa.
"Hukuman" bagi Palestina?
Amerika Serikat adalah negara donor terbesar bagi UNRWA. Tahun lalu, pemerintah di Washington mengirim dana sekitar US$360 juta (Rp4,8 triliun), sekitar setengah dari keseluruhan besaran dana yang mereka keluarkan untuk membantu rakyat Palestina.
Indikasi perubahan kebijakan AS terungkap ketika Presiden Donald Trump, melalui Twitter pada 2 Januari menulis bahwa "negaranya tidak mendapatkan penghargaan atau penghormatan" atas berbagai bantuan yang dikirim bagi Palestina.
Kementerian Luar Negeri menegaskan bahwa pembekuan bantuan dana bagi UNRWA karena badan PBB ini "perlu direformasi".
Namun sejumlah pihak curiga pembekuan bantuan tersebut "untuk menghukum para pemimpin Palestina".
Pembekuan bantuan dana dilakukan beberapa pekan setelah Washington mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, langkah yang dikecam masyarakat internasional karena dinilai mengancam proses perdamaian di kawasan.
Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan.
Pekan lalu, di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Presiden Trump menegaskan bantuan Palestina akan "dibekukan sampai para pemimpin Palestina kembali ke meja perundingan dan melajutkan pembahasan perdamaian".
Yang dirugikan dari sengketa geopolitik ini tentu saja adalah warga Palestina di Jalur Gaza.
PM Israel Kecam UNRWA
Di wilayah ini terdapat delapan kamp pengungsi yang menjadi tempat tinggal bagi ratusan ribu orang yang terdampak perang Arab-Israel pada 1948.
Hampir 70 tahun kemudian, banyak dari pengungsi dan anak cucu mereka yang masih tinggal di kamp-kamp, yang kini makin berdesak-desakan.
UNRWA mendukung sekitar lima juta orang, tak hanya di wilayah Palestina, tapi juga di Yordania, Lebanon, dan Suriah.
Nasib pengungsi adalah salah satu isu utama dalam konflik Israel-Palestina.
Palestina mendesak mereka diberi hak kembali ke tanah-tanah mereka yang kini diklaim sebagai milik Israel.
Klaim ini ditolak mentah-mentah oleh Israel yang mengkritik UNRWA karena membolehkan status pengungsi diturunkan ke anak-anak, yang dianggap hanya terjadi bagi pengungsi Palestina saja.
"Sampai kapan kita terus punya UNRWA? Hingga 70 tahun lagi?" kata Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel dalam keterangan pers belum lama ini.
Ia mengatakan cucu dan cicit penghuni kamp diberi status pengungsi oleh UNRWA, padahal mereka mestinya tak mendapatkan status tersebut, kata Netanyahu.
Ia mengusulkan sumbangan dana ke UNRWA dialihkan ke badan lain, seperti badan PBB yang mengurusi pengungsi, UNHCR.
"UNRWA adalah bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi," katanya.
Saksi Perjuangan
Juru bicara UNRWA, Chris Gunness, menegaskan bahwa mereka mendapatan mandat dari Majelis Umum PBB dan menolak tudingan bahwa mereka adalah penghalang tercapainya kesepakatan antara Israel dan Palestina.
UNRWA sudah meluncurkan seruan global untuk menutp dana yang kosong akibat pembekuan bantuan oleh Washington.
Sementara itu di Israel, langkah AS juga memicu kekhawatiran. Pembekuan sumbangan dikhawatirkan menaikkan sentimen dan mendorong tindakan radikal.
Mantan juru bicara angkatan bersenjata Israel, Peter Lerner, dalam tulisan di koran Haaretz mengatakan UNRWA memang tidak ideal, tapi beberapa alternatif bagi organisasi ini jauh lebih tidak ideal bagi pemerintah dan militer Israel.
Najwa mengatakan UNRWA berperan penting membantu para pengungsi tak hanya untuk bertahan hidup, tapi juga menyuarakan aspirasi.
"Kami tak bisa menyebut diri sebagai pengungsi tanpa bantuan UNRWA," kata Najwa, yang ayahnya dipaksa meninggalkan rumah di al-Majdal ketika masih bocah pada 1948.
Al-Majdal kini berubah nama menjadi Ashkelon dan dikuasai sepenuhnya oleh Israel.
"Nomor pengungsi saya dan kartu pembagian makanan adalah saksi bahwa saya pernah memiliki tanah air ... tanpa ini semua kami tak bisa memperjuangkan hak-hak kami," kata Najwa. [bbc/lat]
Baca Kelanjutan Berkunjung ke Kamp Pengungsi di Gaza : http://ift.tt/2EDiVe0Bagikan Berita Ini
0 Response to "Berkunjung ke Kamp Pengungsi di Gaza"
Posting Komentar