INILAHCOM, London--Hasil pemungutan suara di parlemen Inggris pada Selasa malam (15/1/2019) waktu setempat mengenai usulan PM Theresa May untuk mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa atau Brexit, sangat mengagetkan. Anggota parlemen yang menolak usulan PM May berjumlah 432 anggota, sedangkan yang setuju 202 anggota.
BBC melaporkan hari Rabu (16/1/2019), selain menolak kesepakatan mengatur beragam aspek terkait proses Brexit pada 29 Maret mendatang, Partai Buruh yang beroposisi kini mengajukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah pimpinan PM May yang bisa memicu pemilihan umum.
May menegaskan bahwa hasil pemungutan suara itu tidak memberitahu secara jelas bagaimana cara parlemen mewujudkan hasil referendum pada 2016. Tak jelas pula apakah parlemen ingin membatalkan hasil referendum 2016 yang menginginkan Inggris berpisah dari Uni Eropa.
Seperti diketahui, Brexit adalah kependekan dari "British exit", keluarnya Inggris dari organisasi kerja sama regional Uni Eropa.
Uni Eropa adalah wadah kerja sama politik dan ekonomi 28 negara Eropa. Semua negara di blok ini sepakat bahwa warga negara dengan mudah tinggal dan bekerja di semua negara anggota.
Anggota Uni Eropa terdiri dari Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Denmark, Republik Ceko, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Republik Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, dan Inggris.
Inggris bergabung dengan Uni Eropa pada 1973, ketika itu masih bernama Masyarakat Ekonomi Eropa.
Referendum digelar pada 23 Juni 2016 dengan satu pertanyaan, apakah Inggris sebaiknya tetap menjadi anggota Uni Eropa atau mundur?
Kubu yang mendukung penarikan diri Inggris dari Uni Eropa didukung oleh sekitar 52% suara, setara dengan 17,4 juta sementara yang menginginkan tetap sebagai anggota Uni Eropa didukung oleh 48% suara atau sekitar 16,1 juta.
Tapi Inggris tak langsung mundur, ada beberapa tahapan dan proses yang harus dilewati. Berdasarkan kesepakatan, Inggris dijadwalkan resmi mundur dari Uni Eropa pada 29 Maret 2019.
Referendum 2016 hanyalah permulaan. Dari sini dilakukan negosiasi panjang antara pemerintah Inggris dan negara-negara Uni Eropa tentang syarat dan ketentuan Brexit.
Fokus negosiasi adalah apa yang disebut sebagai "kesepakatan cerai" yang berisi mekanisme mundurnya Inggris dari Uni Eropa dan apa yang terjadi setelahnya.
Beberapa hal yang telah disepakati kedua pihak, antara lain besaran dana yang harus dibayar oleh Inggris untuk bisa mundur dari Uni Eropa, sekitar 39 miliar atau sekitar Rp707 triliun.
Sudah pula disepakati apa yang akan terjadi terhadap warga Uni Eropa yang tinggal di Inggris dan warga Inggris yang tinggal di negara-negara Uni Eropa.
Yang juga disetujui adalah periode transisi yang memberi kesempatan kepada kedua pihak agar tidak terjadi gangguan terhadap sektor usaha dan perdagangan.
Dalam tataran praktis, tidak ada perubahan signifikan mulai 29 Maret 2019 hingga 31 Desember 2020.
Yang perlu digarisbawahi adalah, kesepakatan ini adalah deklarasi politik, artinya isinya bisa berubah berdasarkan kesepakatan antara kedua pihak, meski sudah ada syarat-syarat tentang dasar perundingan di masa depan.
Salah satu kritik utama adalah perundingan yang selama ini berlangsung gagal mewujudkan apa yang disebut sebagi "didapatkannya kembali kontrol penuh ke pemerintah Inggris, yang selama ini dipegang oleh Uni Eropa".
Hal lain yang menjadi batu ganjalan adalah pengaturan perbatasan di wilayah Irlandia Utara.
Irlandia Utara, yang merupakan bagian dari Inggris, berbatasan langsung dengan Republik Irlandia.
Selama ini, tidak ada berbatasan fisik antara kedua wilayah dan sedari awal memang tidak diniatkan ada perbatasan fisik sebagai bagian dari penyelesaian konflik politik di kawasan.
Jika Inggris resmi keluar dari Uni Eropa, Inggris berkewajiban untuk menerapkan semacam mekanisme kontrol untuk mengecek arus barang dan orang, karena Republik Irlandia adalah anggota Uni Eropa.
Mekanisme tanpa kontrol yang selama ini otomatis berlaku berdasarkan kesepakatan Uni Eropa berhenti dengan sendirinya.
Ini belum disepakati dan menjadi salah satu ganjalan utama perundingan Brexit.
Namun opsi yang ada saat ini adalah Inggris akan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan yang jelas, namun pemerintah memiliki tiga hari untuk membuat opsi alternatif yang perlu diajukan ke parlemen lagi.
Kemungkinannya adalah PM May diizinkan untuk menyusun kesepakatan lagi yang dapat diterima oleh parlemen.
Undang-Undang menyebutkan bahwa Inggris akan secara resmi mundur dari Uni Eropa pukul 23.00 pada 29 Maret 2019.
Perkembangan politik di dalam negeri bisa membuat jadwal ini dimundurkan. Bahkan, Mahkamah Eropa sudah memutuskan Inggris bisa membatalkan proses Brexit secara sepihak, tanpa harus mendapatkan persetujuan dari negara-negara Uni Eropa.
Tanpa kesepakatan alias no deal dimungkinkan jika hingga detik-detik akhir kedua pihak tidak menyepati perjanjian mundurnya Inggris dari Uni Eropa.
Itu berarti tidak akan ada periode transisi setelah 29 Maret 2019 dan berbagai peraturan Uni Eropa tak lagi berlaku di Inggris.
Pemerintah Inggris sudah memulai merencanakan skenario dan sudah menerbitkan panduan, dari mulai soal paspor hingga pasok listrik bagi warga. [bbc/lat]
Baca Kelanjutan Brexit Semakin Ribet, Kursi PM May Terancam : http://bit.ly/2CnZWDnBagikan Berita Ini
0 Response to "Brexit Semakin Ribet, Kursi PM May Terancam"
Posting Komentar