INILAHCOM, Bandar Seri Begawan--Kementerian Luar Negeri Brunei Darussalam menyatakan hukum rajam sampai meninggal untuk LGBT dilakukan untuk "pencegahan" dan bukan untuk "hukuman". Demikian laporan yang dikutip dari BBC, Jumat (12/4/2019).
Kementerian mengeluarkan pernyataan itu setelah muncul banyajk kritikan terkait hukuman rajam untuk kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender.
Brunei mengatakan ada persyaratakan yang sangat ketat dalam pelaksanaan hukuman rajam sehingga bentuk hukuman seperti itu akan jarang dilaksanakan.
Pernyataan itu muncul setelah PBB menyebut hukuman itu sebagai "kejam dan tidak manusiawi."
Brunei mengirim tanggapan dari Menteri Luar Negeri, Erywan Yusof, menyusul kritikan PBB dengan mengatakan hukuman Syariat itu "dipusatkan pada pencegahan dan bukan hukuman. Tujuannya adalah untuk mendidik, merehabilitasi dan mengasuh, bukannya untuk menghukum."
Menteri Erywan juga mengatakan Brunei tidak mengkriminalisasi orang berdasarkan keyakinan atau orientasi seksual, termasuk hubungan sesama jenis.
Kriminalisasi "perzinahan dan sodomi dilakukan untuk melindungi kesucian keluarga dan perkawinan Muslim, terutama perempuan," menurut pernyataan itu.
Pernyataan itu juga memastikan diterapkannya hukuman paling berat termasuk amputasi atau rajam sampai meninggal terkait kejahatan tertentu, paling tidak harus disaksikan oleh dua tokoh pria "yang dianggap sebagai pemuka dalam bidang moral".
Disebutkan juga bahwa dua tokoh ini benar-benar harus memenuhi yang "standar yang sangat tinggi", sehingga "(sangat) sulit untuk menemukan orang seperti ini dewasa ini."
Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt juga mengatakan Kamis (11/4/2019) ia telah berbicara dengan menteri luar negeri Brunei yang menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman syariat, dalam prakteknya kemungkinan tidak dilakukan.
Pernyataan dari kementerian luar negeri Brunei muncul menanggapi kritikan PBB menyusul keputusan negara itu menerapkan tahap kedua hukuman Syariat tanggal 3 April lalu mencakup hukuman rajam bagi LGBT.
Tahap pertama syariat diterapkan pada 2014.
Komisioner HAM PBB dalam surat yang dikirim tanggal 1 Mei kepada perwakilan Brunei di Jenewa, Swiss, menyebutkan rencana penerapan hukum rajam itu bertolak belakang dengan deklarasi hak asasi manusia yang dikeluarkan pada 1948. Brunei meratifikasi pada 2006.
Tetapi, Brunei tetap pada keputusan itu, melanjutkan tahap pertama syariat yang diumumkan pada 2014. [bbc/lat]
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Brunei Tetap Pertahankan Hukum Rajam untuk LGBT"
Posting Komentar