INILAHCOM, Christchurch - Seorang mahasiswa S3 asal Indonesia bernama Irfan Yunianto berhasil meloloskan diri dari aksi penembakan brutal yang terjadi di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, pada Jumat (15/3/2019).
Saat dihubungi oleh BBC News Indonesia pada Sabtu (16/3/2019), Irfan mengaku sedang berada di rumah salah seorang rekannya di Christchurch untuk memulihkan trauma.
Kondisi mentalnya sempat terguncang, apalagi ketika menyaksikan video penembakan yang banyak beredar.
Baca juga: Sempat Dilaporkan Hilang, 1 WNI Jadi Korban Tewas
"Saya melihat video itu langsung mual, agak tertekan. Sekarang sudah lebih baik, banyak support dari pihak universitas dan teman-teman. Itu yang sangat membantu," kata Irfan kepada wartawan BBC News Indonesia, Jerome Wirawan.
Dengan penuturan yang tenang dan teratur, pria yang menekuni bidang onkologi molekuler ini memaparkan bagaimana dia dapat menyelamatkan diri.
"Saya datang salat Jumat kira-kira pukul 13.30, 13.35. Saya lihat di ruang salat utama, agak lengang. Mungkin karena sebelumnya hujan deras, jemaah telat datang.
Biasanya kalau saya melihat lengang, ya sudah salat saja di situ. Tapi ini, somehow, Alhamdulillah, Allah mengarahkan saya untuk belok kanan ke ruang kecil. Ruang itu biasanya dipakai untuk seminar, pertemuan.
Karena saya datang naik sepeda, pakai jaket, saya bisa menaruh jaket di situ tanpa mengganggu orang. Di ruang itu ada pintu emergency exit.
Lalu saya salat tahiyatul masjid dan mendengar khotbah sedikit tidak sampai lima menit dari pertama masuk masjid saya mendengar suara letusan duar..duar.
Saat itu insting saya mengatakan mungkin ada trafo meledak. Tapi ada suara tembakan beruntun dor dor dor dor, orang-orang mulai panik.
Karena posisi saya persis berada di depan pintu emergency exit, saya langsung buka tanpa halangan. Orang-orang pada keluar, saya ikut lari. Kami ke luar, lari ke parkiran mobil di belakang, luas. Semua orang panik, kemudian memanjat pagar.
Di situ ada teman saya yang sekolah penerbangan, 'ke sini, ke sini'. Ditolong saya memanjat pagar. Lalu kami sembunyi di rumah penduduk yang pagarnya menempel dengan pagar masjid.
Ada sekitar 15 orang, kami melihat dua orang korban. Satu luka tembak di bahu kanan. Wah itu parah.
Saya sempat khawatir, bagaimana bila beliau meninggal? Dia sudah mengucap syahadat dan seterusnya. Tapi ada orang lain yang menolong, menghentikan pendarahan.
Terus ada satu korban, remaja berusia 15 tahun. Kakinya bercucuran darah.
Termasuk saya, ada tiga warga Indonesia di rumah warga tersebut.
Kami menghubungi paramedis yang datang menjemput dua korban tadi. Kami nggak berani lihat ke luar karena kami takut terkena peluru nyasar atau bahkan kalau pelakunya mengejar sampai ke parkiran belakang.
Kami hanya mendengar polisi menyisir, di parkiran belakang. Mereka melihat kami kemudian berteriak 'Get into the house!' Saya menghubungi supervisor dan KBRI. Di dalam rumah kami saling menguatkan.
Sekitar lima jam kami ada di rumah warga tersebut. Dia pria pensiunan dokter mata berusia 60-an tahun.
Selama sembunyi di rumah itu, tuan rumahnya menyalakan televisi. Kami melihat laporan berita. Wah sudah.
Memang terguncang karena teringat ada kerabat, keluarga yang jadi korban. Ada yang meninggal di dalam. Kami coba saling support.
Sekitar jam 19.00 baru kami dievakuasi sama polisi. Saya diantarkan ke rumah, sampai di rumah jam 19.30."
Seniman asal Sumbar dan anaknya 'jalani operasi kedua'
Ketika Irfan dan beberapa rekannya dapat lari menyelamatkan diri, seorang seniman asal Sumatera Barat dan anaknya yang baru berusia dua tahun menjadi korban penembakan di sebuah masjid di Linwood, pinggiran Kota Christchurch, Selandia Baru, saat shalat Jumat.
Korban diketahui bernama Zulfirman Syah dan saat ini sedang dirawat setelah menjalani serangkaian operasi di Christchurch Public Hospital.
Menurut Hendra Yaspita, kakak Zulfirman Syah, adiknya sempat berkomunikasi dengan salah satu anggota keluarga saat hendak berangkat salat Jumat bersama anaknya yang berusia dua tahun.
"Dia menelepon kakak saya yang perempuan melalui aplikasi WhatsApp, Dia memberitahu mau berangkat salat Jumat. Ternyata kejadiannya seperti ini," kata Hendra dengan suara tercekat seraya menahan tangis saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Sabtu.
Setelah shalat Jumat, Hendra mendapat kabar dari seorang paman bahwa Zul mengalami luka tembak di masjid Kota Christchurch. Adapun pamannya diberikan informasi oleh anaknya yang berteman dengan istri Zul di Facebook.
"Saya cek langsung ke adik ipar saya, diberitahukan memang adik saya dan anak mereka terkena tembakan di masjid kedua," ujar Hendra.
Anak Zul, sambung Hendra, terkena tembakan di bagian punggung dan kaki.
"Anaknya sekarang, Alhamdulillah makin membaik. Kalau adik saya, Zul, masih di ICU. Kemarin operasi pertamanya untuk peluru yang menembus paru-parunya. Dia belum bisa berkomunikasi. Alhamdulillah sudah stabil, tapi belum sadar."
"Mungkin hari ini Insya Allah akan menjalani operasi kedua, baik Zul maupun anaknya. Mohon doanya karena dari informasi istrinya, Zul banyak terkena tembakan," papar Hendra.
Baca juga: Dua WNI Korban Penembakan Jalani Operasi Kedua
Hendra menuturkan, keluarga besarnya di Padang, Sumatera Barat, hendak berangkat ke Christchurch untuk mendampingi Zul, anak, dan istrinya. Akan tetapi mereka terkendala birokrasi imigrasi mengingat untuk mengurus visa kunjungan ke Selandia Baru akan menghabiskan waktu beberapa pekan.
"Rencana dari keluarga besar ada yang mewakili untuk ke sana. Mohon juga bantuan pemerintah bagaimana caranya kita bisa ke sana," kata Hendra.
Hijrah ke Selandia Baru
Zulfirman Syah merupakan seorang seniman, alumni Insitut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta.
Hendra Yaspita mengatakan adiknya bermukim di Yogyakarta dari 1997 sampai 2018. Namun, kemudian memutuskan untuk hijrah ke Selandia Baru.
"November 2018 dia pulang ke Padang, minta restu ke Selandia Baru. Januari lalu dia ke sana. Alasan dia ke Selandia Barukarena di sana suasananya damai dan tertib," paparnya.
Selama bertahun-tahun, Zulfirman Syah berkiprah di Sakato Art Community, sebuah kelompok seniman seni rupa Indonesia yang beranggotakan seniman asal Sumatera Barat.
Salah seorang teman Zulfirman Syah di Sakato Art Community, Anton Rais Makoginta, mengetahui sosok Zul sebagai seorang pelukis.
Zul, menurut Anton, pernah mengikuti pameran di Beijing, China.
"Karya lukisnya abstrak dengan kesadaran realis. Dia membuat wujud-wujud abstrak menjadi model yang kemudian dipindahkannya ke kanvas. Terakhir, dia baru saja ikut dalam pameran 'Plus' di Nadi Gallery, Jakarta. Saat itu ada pameran 15 seniman Sakato Art Community," papar Anton.
Baca Kelanjutan Kisah Mahasiswa RI Bisa Lolos dari Serangan Teror : https://ift.tt/2CpzyKfBagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Mahasiswa RI Bisa Lolos dari Serangan Teror"
Posting Komentar