INILAHCOM, Khartoum--Dia berasal dari wilayah Sudan bagian barat, tempat politik, bisnis, dan perang sering kali berkaitan.
Pria di puncak dunia politik Sudan ini adalah mantan pedagang unta, yang melihat perang sebagai cara untuk menjadi kaya dan berkuasa.
Di atas kertas, Mohamed Hamdan Dagolo yang dikenal dengan nama "Hemeti" adalah orang kedua di jajaran junta militer yang menguasai Sudan saat ini. Ia duduk sebagai wakil presiden Dewan Militer Peralihan Sudan.
Tetapi pada kenyataannya, Hemeti, yang tidak lulus sekolah dan berasal dari luar elite militer Sudan, dipandang banyak orang sebagai penguasa Khartoum.
Komandan perang Darfur ini memimpin puluhan ribu orang yang dibayar dan memiliki peralatan yang lebih baik dibandingkan pasukan militer resmi milik Sudan.
Dia juga memiliki banyak uang untuk mendanai milisi--dia memiliki konsesi untuk menambang emas di pegunungan kaya mineral dan dapat bergantung kepada sejumlah teman kuat di Arab Saudi dan sekutu di Teluk.
Kemunculannya menjadi penguasa dimulai pada tahun 2003, ketika suku kulit hitam Afrika yang kebanyakan petani melakukan penentangan fisik terhadap pemerintah di daerah barat, Darfur.
Militer kewalahan mengatasi taktik gerilya dan mulai merekrut milisi Arab yang dikenal dengan nama "Janjaweed"--campuran sejumlah kata yang terjemahan harfiahnya adalah 'jin pembawa senjata di atas kuda'.
Saat itu, Hemeti adalah seorang pria ambisius di akhir umur 20-an tahun.
Dilahirkan pada tahun 1975 di antara kelompok Mahamid Arab-Sudan penggembala unta, dia keluar dari SD pada umur 16 tahun untuk mengekspor unta dari Darfur ke Chad bagi pelanggan di Libia dan Mesir.
Pada permulaan konflik, Hemeti memberikan pengamanan kepada konvoi pedagang di Darfur sehingga dia menjadi kaya.
Tidak lama kemudian pemimpin muda ini, membantu memobilisasi pejuang Janjaweed.
Seperti pria lain di daerah terpencil ini, Hemeti memandang perang sebagai "sarana untuk mendapatkan uang", kata Alex de Waal, yang terlibat dalam perundingan perdamaian di tahun 2006 dan seorang penulis.
Berbagai pemerintahan yang berkuasa di Sudan sejak tahun 1980-an bergantung kepada pasukan paramiliter untuk mengatasi pemberontakan.
Sebagai imbalannya para milisi dapat "menjarah, mencuri, menguasai wilayah dan menjadi berpengaruh karena menggunakan kekuatan fisik yang 'dilegitimasi', kata De Waal.
Monster
Para ahli menganggap Omar al-Bashir, orang kuat yang menjadi presiden Sudan selama 30 tahun, memperkuat milisi dan "menciptakan monster" yang tidak lagi dapat dikontrol pemerintah.
Setelah perang, Bashir dihukum Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) Den Haag karena kejahatan yang dilakukan di Darfur.
Karena khawatir dikudeta, Bashir memperlemah militer dan memperkuat layanan intelijen dan milisi.
Pada tahun 2013, pasukan Hemeti menjadi Pasukan Pendukung Cepat (RSF).
Menurut Small Arms Survey (2016), RSF diperkirakan beranggotakan 10.000-20.000 orang, perkiraan lain adalah sekitar 50.000.
Hemeti mengatakan pihaknya memiliki 15 sampai 20 kamp pelatihan bagi tentaranya. Dia mengatakan dirinya didukung 67 pimpinan suku dan 50 mantan perwira pemberontak.
Sampai sejauh ini Hemeti dan Dewan Militer Peralihan (TMC) tetap bersatu, menekan pengunjuk rasa prodemokrasi.
Hemeti mengatakan milisi mendapatkan mandat rakyat untuk membentuk pemerintahan yang beranggotakan para teknokrat.
Dengan adanya sekutu regional yang kuat dan rendahnya tekanan pihak asing, dia berusaha menampilkan diri sebagai penyelamat Sudan.
"Jika saya tidak menduduki posisi ini, negara ini akan musnah," katanya dalam wawancara dengan harian The New York Times baru-baru ini. [bbc/lat]
Baca Kelanjutan Wapres Interim Sudan, Tidak Lulus Sekolah : https://ift.tt/2XbrwMrBagikan Berita Ini
0 Response to "Wapres Interim Sudan, Tidak Lulus Sekolah"
Posting Komentar