Hari Jum’at nan mulia, 25 Juni 2021, saya menerima kabar duka. Tokoh pergerakan dan politik nasional, Abdul Jalil Latuconsina (68 tahun) berpulang ke hadirat Illahi. Penanda tangan Petisi 50 termuda itu, adalah guru politik saya dan banyak anak-anak muda lain sejak zaman reformasi.

Jam 12.30, tepat selepas sholat Jum’at, Hanafi Latuconsina, menangis di ujung telepon. “Abah sudah tidak ada Mas…tadi lepas saya turun sholat,” kata Han, panggilannya, sembari terus sesenggukan.

Han Latuconsina (48 tahun), keponakan Abah Jalil, memang hampir 2 tahun ini selalu menemani. Bersama dengan Akbar, anak sulung Han yang tahun lalu baru saja lulus SMA di Ambon. Mereka berdua luar biasa. Selalu ada di samping Abah Jalil di masa akhir hidupnya. Merawat dan melayani sepenuh hati.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun. Saya segera ke sana. Pak Han tenang yaa,” kata saya, tanpa bisa mengucap banyak kata. Saya hanya berpikir harus segera ke Aparna Siwalankerto Surabaya, tempat Abah selama ini tinggal dan menyiapkan pemakamannya.

Abah Jalil sudah seperti ayah saya sendiri. Abah pun menganggap saya seperti anak kandungnya. Usai reformasi 1998, hingga sekarang sudah lebih dari 23 tahun, saya terbilang sangat dekat dengan Abah.

Dalam perjalanan ke Aparna, setelah memberitahu teman-teman di beberapa grup WA, saya berpikir untuk segera memastikan lokasi pemakaman. Ini bentuk bakti terakhir saya ke Abah.

Pikiran saya hanya satu TPU Keputih yang dikelola Pemkot Surabaya. TPU Keputih di sebelah timur kampus ITS, sangat rapi dan bagus dikelola Pemkot sejak masa pemerintahan Wali Kota Tri Risma Harini.

Saya pun menghubungi Pak Irvan Widianto, Kadis Kominfo Pemkot Surabaya, selain mengabarkan Abah meninggal, juga mohon dibantu untuk lahan pemakaman di Keputih. Alhamdulillah beliau bergegas membantu dan menghubungkan ke Kadis Kebersihan Ruang Terbuka Hijau, Anna Fajriatin.

Saya yang tidak pernah telepon kepala dinas, kemarin terpaksa telepon demi memastikan makam siap sebelum Maghrib. Rupanya siang itu semua kepala dinas sedang rapat bersama Wali Kota, Mas Eri Cahyadi, koordinasi penanganan COVID-19.

Setelah beberapa kali chat via WA dengan Bu Anna dan dibantu Pak Aswin, Kasubdin Pemakaman, tepat jam 14.00, makam mulai bisa digali.

“Nanti In Syaa Allah sekitar jam 16 makam sudah siap Mas. Tadi semua sudah dikoordinasikan Pak Aswin dan Bu Anna,” kata Imat, adik saya di pergerakan yang sekarang ikut membantu di DKRTH Pemkot Surabaya.

Alhamdulillah proses pemakaman Abah Jalil sungguh mudah dan dilancarkan semuanya hari itu. Dinaungi mendung pekat yang bergelayut di langit Surabaya, tepat pukul 16.30 jenazah almarhum sudah bisa masuk ke liang lahat. Setelah sebelumnya bakda Ashar disholatkan di masjid Aparna.

Abdul Jalil Latuconsina bersama sahabatnya, LaNyalla Mahmud Mattalitti

Saya meyakini kemudahan itu berkat ridho Allah SWT dan benih kebaikan yang selalu ditebar Abah selama ini. Semasa hidupnya siapa pun mengenal Jalil Latuconsina sebagai figur dermawan. Di balik sikapnya yang berani melawan siapa pun dan kadang kontroversial, Abah ini sosok yang lembut dan welas asih.

Semua tahu. Setiap ada rezeki berapa pun menghampiri, siapa pun yang di dekatnya maupun yang jauh sekalipun selalu ikut menikmati. Ibaratnya dapat 10, yang 9 diberikan ke orang lain. Bahkan diri dan keluarga kadang sering kelupaan. Almarhum Pak Bambang Sujiono (dulu anggota DPRD Jatim dari PPP), sampai sering mengingatkan agar juga mengirim ke keluarga.

Ketika dimandikan dan dikafani, tampak kulit Abah yang biasanya gelap khas orang Ambon (Abah lahir di Namlea, Pulau Buru), begitu bersih, bahkan bisa dibilang putih bercahaya wajah dan badannya. Ini pun dibenarkan oleh Han Latuconsina yang ikut memandikan, ia pun juga turut heran.

“Demi Allah saya baru kali ini menemui seperti ini Mas. Pak Modin tadi juga terheran-heran. Selama memandikan jenazah di sekitar sini, katanya belum pernah menemui seperti Abah,” kata Han usai tahlil semalam.

“Luar biasa ya meninggalnya pas hari Jum’at,” kata Arif Afandi, Ketua Dewan Masjid Indonesia, mantan Wakil Wali Kota Surabaya, kepada saya.

Abah setahu saya memang seorang pengamal tarikat juga. Salah satu gurunya adalah KH Chamim Thohari Jazuli, atau lebih dikenal dengan Gus Mik. Beberapa kali saya diajak Abah ziarah ke komplek Makam Aulia di Kediri, tempat Gus Mik dimakamkan.

Abah juga rajin berziarah ke makam leluhurnya di Desa Pelauw, Pulau Haruku, Maluku, tempat asal fam atau marga Latuconsina, Sangaji dan Tuasikal. Fam Latuconsina secara turun temurun menjadi raja di situ.

Di sebuah bukit, ada makam aulia yang disebut Keramat oleh warga setempat. Menurut sejarah lokal, makam tersebut merupakan ulama yang mengungsi pasca keruntuhan kesultanan Islam di Andalusia, Spanyol.

Terakhir ke Pelauw, saya bersama Abah dan Bang LaNyalla Mattalitti, sekarang Ketua DPD RI. Saat di makam ‘Keramat’ itu kami pun atas izin raja sempat menyaksikan tradisi Ma’atenu atau Cakalele.

Menyaksikan sendiri dalam kondisi trans, beberapa pemuda Desa Pelauw tak terluka sedikit pun oleh goresan parang maupun silet.

“Ditembak pun tak mempan. Para pemuda dari kampung sini yang dulu disebut pasukan putih-putih yang kebal senjata saat kerusuhan Ambon,” kata Han yang saat itu juga ikut mengantar kami.

Itu semua terjadi begitu saja tanpa ada mantra apapun. Semua keturunan dari situ sudah membawa kemampuan itu, bahkan sejak baru lahir. Biasanya pada peringatan Idul Adha empat tahun sekali, semua keturunan Pelauw akan berkumpul kembali. Mulai bayi hingga dewasa mengikuti tradisi Ma’atenu. Berpakaian serba putih, lalu semua mendadak begitu saja kebal dengan aneka senjata tajam.

“Aku tidak punya anak, kamu itu anakku. Dan aku tahu ilmu kita sama,” kata Abah suatu malam di tahun 2002. Kami berdua naik Kijang Super warna biru buatan tahun 1996. Tak lama kemudian, malam itu, di suatu tempat di Surabaya, kami bertemu Pak Sholihin Hidayat, Mas Dhimam Abror, keduanya mantan Pemred Jawa Pos dan Mas Arif Afandi (mantan Wawali Surabaya), saat itu masih Pemred Jawa Pos.

Begitu perhatiannya Abah, saat perhelatan Pilwali Madiun 2018 lalu, sempat mengatakan akan mengirimkan pengawal dari Pelauw. “Nanti aku kirim enam orang dari Pelauw yaa ke Madiun, biar kawal dan jaga kamu Rif.”

”Tidak perlu Abah, in Syaa Allah di Madiun aman. Mohon do’anya saja semoga mendapat yang terbaik dari Allah,” jawab saya ketika itu. Tapi tetap saja ada dua orang yang didatangkan ke Madiun, meski bukan ditugaskan untuk mengawal.

Saya paham itu semua bentuk kasih sayang dan perhatiannya pada saya. Saya pun sudah merasa cukup mendapat bekal politik dari tokoh aktivis pergerakan yang dikenal oleh hampir semua tokoh partai politik nasional maupun Jatim.

Abah ini layaknya anak angkat dari Jenderal AH Nasution dan juga sangat dekat dengan tokoh muslim AM Fatwa, dan mantan Gubernur DKI Ali Sadikin. Ketiganya juga merupakan tokoh Petisi 50.

Ali Sadikin ini lah yang kemudian mengenalkan Abah dengan Abah Dahlan Iskan yang saat itu masih wartawan Tempo. Saat itu ada pertemuan di rumah Ali Sadikin tahun 1984. Semua Gubernur Jawa Timur sejak Mayjen Imam Utomo, Pakde Karwo hingga Bu Khofifah mengenal baik dan dekat dengan Jalil Latuconsina. Setahu saya beberapa bulan sebelum Pilgub 2018, Bu Khofifah juga masih bicara via telepon dengan Abah.

Ia pun dijuluki “asisten intelijen Pangdam V/ Brawijaya” sepanjang masa, seperti dituturkan Kolonel Z, mantan Komandan Detasemen Intelijen.

Selamat jalan Abah…
Saya bersaksi Abah orang baik dan mulia hatinya.
In Syaa Allah husnul khotimah dan dimuliakan di sisi Allah SWT.

Arief Rahman,
Pemimpin Umum Lensaindonesia.com
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jawa Timur